Minggu, 18 Maret 2012

OPINI MENGENAI KESETARAAN GENDER

OPINI MENGENAI KESETARAAN GENDER

Saat ini masalah kesetaraan gender sedang hangat-hangatnya diperbincangkan, baik oleh masyarakat Indonesia sendiri maupun dunia, khususnya para aktivis sosial, kaum feminis, politikus, bahkan oleh para pejabat negara. Kesetaraan merupakan sendi utama proses demokrastisasi karena menjamin terbukanya akses dan peluang bagi seluruh elemen masyarakat. Kesetaraan gender merupakan kesamaan keadaan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, bagi laki-laki dan perempuan agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan bermasyarakat. Baik itu kegiatan sosial budaya, politik, hukum, ekonomi, pendidikan dan pertahanan negara, serta hak dalam menikmati hasil pembangunan. Kesetaraan gender juga meliputi penghapusan diskriminasi dan ketidak adilan struktural, baik terhadap laki-laki maupun perempuan. Dimana keadilan tersebut merupakan gagasan paling sentral sekaligus tujuan tertinggi yang diajarkan setiap agama dan kemanusiaan dalam upaya meraih cita-cita manusia dalam kehidupan bersamanya. Tidak tercapainya cita-cita demokrasi seringkali dipicu oleh perlakuan yang diskriminatif dari mereka yang dominan baik secara struktural maupun secara kultural. Perlakuan diskriminatif dan ketidaksetaraan tersebut dapat menimbulkan kerugian dan menurunkan kesejahteraan. Sampai saat ini diskriminasi berbasis pada gender masih terasakan hampir di seluruh dunia, termasuk di negara di mana demokrasi telah dianggap tercapai.
Gender merupakan konstruksi sosial terhadap perbedaan jenis kelamin laki-laki dan perempuan yang menghasilkan atribut, posisi, peran dan kategori sosial tertentu. Konstruksi sosial tersebut dibutuhkan sebagai bagain dari mekanisme survival suatu masyarakat. Oleh sebab itu, konstruksi gender bersifat kontektual dan relative sesuai dengan ruang dan waktu tertentu. Untuk mewujudkan kesetaraan gender tesebut perlu adanya suatu keadilan gender yaitu suatu proses dan perlakuan adil dan persamaan hak terhadap perempuan dan laki-laki. Dengan keadilan gender berarti tidak ada pembakuan peran, beban ganda, subordinasi, marginalisasi dan kekerasan terhadap perempuan maupun laki-laki. Ide kesetaraan gender dapat diartikan sebagai sebuah ide yang mengusahakan penyamaan kedudukan, hak-hak serta kebebasan kaum perempuan dengan laki-laki dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Banyak wanita Indonesia yang mulai berpartisipasi dalam ruang publik. Tapi itu belum bisa menjadi bukti bahwa kesetaraan gender telah berjalan optimal. Kesetaraan gender bukan hanya dilihat dari banyaknya wanita yang duduk pada posisi strategis. Karena kenyataannya, masih banyak pula wanita yang cenderung pasif di tengah tuntutan arus globalisasi. Gender menjadi persoalan sosial ketika terjadi perubahan dalam masyarakat disebabkan oleh pergeseran techno-environment pada tingkat makro namun tidak disertai dengan perubahan pola relasi dan posisi sosial sehingga membawa kerugian bagi mereka yang berada pada posisi yang subordinatif. Pembakuan peran dalam suatu masyarakat merupakan kendala yang paling utama dalam proses perubahan sosial. Gender, sebagaimana kategori sosial yang lain seperti ras, etnis, agama dan klas, dapat mempengaruhi kehidupan seseorang, termasuk partisipasi mereka dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara. Suatu masyarakat dengan nilai patriarkhi yang kental dapat menghalangi kaum perempuan untuk mendapatkan manfaat dari pembangunan dan kemajuan peradaban manusia. Kesetaraan dalam konteks ini adalah kesetaraan akses pada bidang hukum, kesempatan, termasuk kesetaraan upah kerja, kesetaraan dalam pengembangan sumberdaya manusia dan sumber-sumber produktif lainnya.
Partisipasi perempuan dalam pendidikan makin menurun pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Anak-anak perempuan merupakan pihak yang paling rentan terhadap kecenderungan putus sekolah apabila keuangan keluarga tidak mencukupi. Hal tersebut disebabkan oleh suatu pandangan kultural yang mengutamakan anak laki-laki, baik sebagai penerus keluarga maupun sebagai mencari nafkah utama. Pandangan tersebut sangat merugikan perempuan dalam tingkat ekonomi menengah ke bawah di mana mereka juga harus memberikan kontribusi ekonomi keluarga. Akses pendidikan yang rendah sangat berpengarruh pada akses terhadap sumber-sumber produksi di mana mereka lebih banyak terkonsentrasi pada pekerjaan informal yang berupah rendah. Kesenjangan Akses Sumber Daya Produktif Perbedaan gender dapat mengakibatkan ketidaksetaraan akses terhadap sumber daya produktif (productive resources) informasi dan permodalan, termasuk pemilikan tanah. Di daerah pedesaan kepemilikan tanah perempuan lebih rendah dari kaum laki-laki. Banyak perempuan yang tidak memiliki akses permodalan yang sama dengan laki-laki sehingga berpengaruh terhadap kontribusinya terhadap ketahanan keluarga. Di tempat kerja, posisi perempuan cenderung lebih rendah secara managerial dan struktural. Bias gender tentang kepemimpinan mengakibatkan rendahnya peluang perempuan untuk menduduki jabatan-jabatan tersebut. Perbedaan pembagian kerja produksi dan reproduksi antara laki-laki dan perempuan turut serta mempertajam kesenjangan struktural. Pada umumnya, pekerjaan reproduksi seperti pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan anak-anak yang secara kultural diserahkan pada perempuan tidak diberi nilai setara dengan pekerjaan produksi dalam kebijakan kerja. Peran ganda (produksi dan reproduksi) yang harus dilakukan oleh kaum perempuan membuat mereka tidak dapat berkompetisi secara objektif dalam mencapai jenjang promosi dan kepangkatan serta pendidikan lanjutan yang samaInterpretasi keagamaan konservatif turut serta menguatkan pola ketergantungan ini dengan menjadikan aspek ‘nafkah’ yang bersifat mendukung fungsi reproduksi perempuan menjadi fungsi ketergantungan submisif perempuan terhadap superioritas laki-laki di dalam rumah dan, juga, di luar rumah.
Demokratisasi dan Upaya Pencapaian Kesetaraan Gender Demokratisasi yang tengah berlangsung pasca reformasi diharapkan dapat mewujudkan suatu kehidupan yang lebih setara dengan menghargai perbedaan sebagai keniscayaan. Demokratisasi tidak akan berjalan dengan baik apabila prasangka dan stereotipe terhadap kategori sosial seperti ras, etnis, agama dan gender masih menjadi cara pandang politik. Masyarakat sipil dapat ditegakkan apabila relasi sosial dapat berjalan secara egaliter dan bertanggung jawab. Relasi semacam ini hanya dapat berlangsung ketika setiap elemen menempati posisi yang setara dalam memperoleh kesempatan untuk mendapatkan manfaat yang adil dari lingkungannya termasuk politik, ekonomi, sosial budaya. Berbagai cara tengah dilakukan diupayakan untuk mengurangi, kalau tidak menghilangkan sama sekali, ketidaksetaraan gender yang menyebabkan ketidakadilan sosial. Upaya tersebut dialakukan baik secara individu, kelompok bahkan oleh negara dan dalam lingkup lokal, nasioanal dan internasional. Upaya upaya tersebut diarahkan untuk menjamin Kesetaraan Hak-Hak Azasi Pembatasan-pembatasan terhadap hak-hak dasar ini dapat menurunkan kemampuan keduanya untuk bertahan dan mancapai kualitas hidup. Selanjutnya, kesetaraan terhadap hak-hak dasar memungkinkan setiap individu dapat mendapatkan manfaat dari peluang-peluang yang ditawarkan oleh pembangunan dan kemajuan di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, politik dan sosial budaya. Hak-hak dasar ini seringkali tidak dapat diperoleh secara setara karena disebabkan oleh berbagai tradisi yang tidak lagi sejalan dengan keharusan zaman. Interpretasi agama yang menjadi dasar pembaharuan hukum, misalnya, justru membelenggu perempuan ketimbang melindunginya.
 Pembaharuan peraturan yang dijalankan oleh berbagai daerah dalam rangka desentralisasi telah banyak membatasi ruang gerak perempuan secara wajar dan leluasa. Banyak perempuan yang justru mengalami kekerasan seperti penarikan rambut, pemukulan setelah sosialisasi penerapan Syari’ah Islam digulirkan. Untuk itu, perlu dilakukan reinterpretasi yang dapat memungkinkan reaktualisasi ajaran Islam sebagai `rahmatan lil alamin’. Sesungguhnya, studi-studi Islam yang dikembangkan, baik klasik dan kontemporer menyediakan perangkat metodologis untuk melakukan pembaharuan. Mengendalikan perempuan hanyalah awal dari upaya represif mengendalikan seluruh elemen sosial dan, ini merupakan isyarat bagi `matinya demokrasi’.Penyusun Kebijakan Yang Pro Aktif Mengatasi Kesenjangan Gender Selain melakukan rekonstruksi nilai. budaya melalui reinterpretasi terhadap ajaran agama dominan, langkah lebih konkrit perlu dilakukan pada tataran kebijakan. Pengarusutamaan gender (gender meanstreaming) kini tengah digalakkan untuk mempersempit kesenjangan gender pada akses sumber daya produktif. Oleh sebab itu, perlu dilakukan `afrmative action’ pada tingkat pemerintah pusat dan daerah untuk mendorong meningkatnya partisipasi perempuan dalam pendidikan dan ekonomi. Penyediaan kebutuhan praktis gender perempuan seperti prasarana hernat waktu, pelayanan penitipan anak di tempat kerja, keleluasaan kerja pada saat perempuan harus melakukan peran reproduksi seperti menstruasi, mengandung, melahirkan dan menyusui dapat secara signifikan menguatkan posisi sosial ekonomi perempuan yang, juga, merupakan penguatan ketahanan keluarga.
Pergeseran paradigma pembangunan dalam tubuh Bank Dunia dari ekonomi pertumbuhan dan efisiensi menuju ekonomi yang berorintasi pada kesejahteraan manusia telah banyak memberikan perbaika i terhadap kualitas hidup perempuan. Insentif-insentif terhadap peran-peran kodrati dan tradisional yang sebelumnya dianggap ineffisien ini menjadi bagian dari bentuk menguatan perempuan Peningkatan Partisipasi Politik Upaya-upaya di atas tidak akan secara maksimal dapat dicapai bilamana partisipasi aktif perempuan belum maksimal. Partisipasi aktif dalam kancah politik menjadi prasyarat bagi terjaminnya hak-hak perempuan secara asasi seperti hak mendapatkan tunjangan keluarga yang memadai bagi perempuan, dan hak cuti reproduksi. Bahkan, di negara seperti Australia, misalnya, kepedulian terhadap hak reproduksi perempuan telah menjadi bagian dari masyarakat sehingga para bapak dan suami berdemonstrasi untuk dapat memperoleh hak cuti menjadi orang tua (paternity leave) selama dua minggu menjelang dan sesudah istri melahirkan Di Indonesia, proses pengarusutamaan gender yang dilaksanakan melalui Inpres No. 9 tahun 2000 terus ditindak-lanjuti melalui berbagai perda dan Surat Edaran Gubernur untuk meningkatkan partisipasi politik dan sosial perempan. Di Yogyakarta, Surat Gubernur No. Meski sistem kuota telah ditetapkan namun banyak pihak meragukan keberhasilannya, karena adanya berbagai faktor. Kuota tersebut sulit dipenuhi apabila Pemilu masih menggunakan sistem proporsional. Oleh sebab itu, agenda penguatan politik perempuan juga harus diarahkan pada adanya perubahan perundangan. Tanpa itu, sistem kuota tersebut tidak akan berhasil meningkatkan partisipasi perempuan. Kuota perempuan di parlemen bukan merupakan hal yang substansial, sebab perempuan yang menduduki jabatan strategis, seperti presiden tidak secara otomatis memiliki perspektif feminist dan sensitif dengan isu-isu perempuan. Menurut mereka, kuota bukan hal yang penting tetapi bagaimana kepentingan perempuan terwakili dalam pengambilan keputusanOleh sebab itu, kuota harus diperjuangkan pada tingkat normatif melalui berbagai mekanisme kenegaraan seperti undang-undang dan sejenisnya. Pada saat yang sama, pemberdayaan (empowerment) perempuan terhadap isu-isu strategis dan praktis perempuan harus mengiringi proses pemenuhan kuota tersebut. Kepentingan-kepentingan kelompok-kelompok marginal yang berbasis pada perbedaan ras, etnis, agama, klas seringkali terabaikan manakala mereka tidak secara fisik terwakili dalam pengambilan keputusan, demikian juga kepentingan perempuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar